Model Pembelajaran Discovery Learning dalam Pembelajaran Matematika dan Kaitannya dengan Penerapan Kurikulum 2013

12/12/14

Abstrak
Pada saat proses belajar–mengajar berlangsung di kelas, akan terjadi hubungan timbal balik antara guru dan siswa yang beraneka ragam, dan itu akan mengakibatkan terbatasnya waktu guru untuk mengontrol bagaimana pengaruh tingkah lakunya terhadap motivasi belajar siswa. Selama pelajaran berlangsung guru sulit menentukan tingkah laku mana yang berpengaruh positif terhadap motivasi belajar siswa, misalnya gaya mengajar mana yang memberi kesan positif pada diri siswa selama ini, strategi mana yang dapat membantu kejelasan konsep selama ini, metode dan model pembelajaran  mana yang tepat untuk dipakai dalam menyajikan suatu pembelajaran sehingga dapat membantu mengaktifkan siswa dalam belajar. Model pembelajaran discovery learning menempatkan guru sebagai fasilitator. Guru membimbing siswa dimana ia diperlukan. Dalam model ini, siswa didorong untuk berpikir sendiri, menganalisis sendiri sehingga dapat ”menemukan” prinsip umum berdasarkan bahan atau data yang telah disediakan guru.

Kata kunci: model pembelajaran discovery learning

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Karakteristik Model Pembelajaran Discovery Learning
Ciri utama belajar menemukan yaitu: (1) mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk menciptakan, menggabungkan dan menggeneralisasi pengetahuan; (2) berpusat pada siswa; (3) kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah ada.
Ada sejumlah ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat ditekankan oleh teori konstruktivisme, yaitu :
a.    Menekankan pada proses belajar, bukan proses mengajar
b.   Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajar pada siswa.
c.    Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin dicapai.
d.   Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekan pada hasil.
e.    Mendorong siswa untuk mampu melakukan penyelidikan.
f.    Menghargai peranan pengalaman kritis dalam belajar.
g.   Mendorong berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa.
h.   Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman siswa.
i.     Mendasarkan proses belajarnya pada prinsip-prinsip kognitif.
j.     Banyak menggunakan terminilogi kognitif untuk menjelaskan proses pembelajaran;
seperti prediksi, inferensi, kreasi dan analisis.
k.   Menekankan pentingnya “bagaimana” siswa belajar.
l.     Mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi dengan
siswa lain dan guru.
m. Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif.
n.   Menekankan pentingnya konteks dalam belajar.
o.   Memperhatikan keyakinan dan sikap siswa dalam belajar.
p.   Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan dan pemahaman baru yang didasari pada pengalaman nyata.

Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran kontruktivisme tersebut, maka dalam penerapannya didalam kelas sebagai berikut :
1.      Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar.
2.     Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada siswa untuk merespon.
3.      Mendorong siswa berpikir tingkat tinggi.
4.     Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau diskusi dengan guru atau siswa lainnya.
5.     Siswa terlibat dalam pengetahuan yang mendorong dan menantang terjadinya diskusi.
6.     Guru menggunakan data mentah, sumber-sumber utama dan materi-materi interaktif.
Dari teori belajar kognitif serta ciri dan penerapan teori kontruktivisme tersebut dapat melahirkan strategi pembelajaran discovery learning.
Model pembelajaran discovery learning ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atau berfikir atau mengungkapkan hubungan antara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan frustasi. Model pembelajaran discovery learning ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karena membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori atau pemecahan masalah lainnya. 
3.2 Tahapan Model Pembelajaran Discovery Learning
Tahap-tahap penggunaan model belajar penemuan dalam pembelajaran menurut Amien (1987) dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Tahap pertama adalah diskusi. Pada tahap ini guru memberikan pertanyaan kepada siswa untuk didiskusikan secara bersama-sama sebelum lembaran kerja siswa diberikan kepada siswa. Tahap ini dimaksudkan untuk mengungkap konsep awal siswa tentang materi yang akan dipelajari.
b. Tahap kedua adalah proses. Pada tahap ini siswa mengadakan kegiatan laboratorium sesuai dengan petunjuk yang terdapat dalam lembar kerja siswa guna membuktikan sekaligus menemukan konsep yang sesuai dengan konsep yang benar.
c. Tahap ketiga merupakan tahap pemecahan masalah. Setelah mengadakan kegiatan laboratorium siswa diminta untuk membandingkan hasil diskusi sebelum kegiatan laboratorium dengan hasil setelah laboratorium sesuai dengan lembaran kerja siswa hingga menemukan konsep yang benar tentang masalah yang ingin dipecahkan.
 3.3 Strategi-strategi Model Pembelajaran Discovery Learning
Di dalam model penemuan ini, guru dapat menggunakan strategi penemuan yaitu secara induktif, deduktif atau keduanya.

1.       Strategi Induktif
Strategi ini terdiri dari dua bagian, yakni bagian data atau contoh khusus dan bagian generalisasi (kesimpulan). Data atau contoh khusus tidak dapat digunakan sebagai bukti, hanya merupakan jalan menuju kesimpulan. Mengambil kesimpulan (penemuan) dengan menggunakan strategi induktif ini selalu mengandung resiko, apakah kesimpulan itu benar atau tidak. Karenanya kesimpulan yang ditemukan dengan strategi induktif sebaiknya selalu menggunakan perkataan “barangkali” atau “mungkin”.
Sebuah argumen induktif meliputi dua komponen, yang pertama terdiri dari pernyataan/fakta yang mengakui untuk mendukung kesimpulan dan yang kedua bagian dari argumentasi itu (Cooney dan Davis, 1975: 143). Kesimpulan dari suatu argumentasi induktif tidak perlu mengikuti fakta yang mendukungnya. Fakta mungkin membuat lebih dipercaya, tergantung sifatnya, tetapi itu tidak bisa membuktikan dalil untuk mendukung. Sebagai contoh, fakta bahwa 3, 5, 7, 11, dan 13 adalah semuanya bilangan prima dan masuk akal secara umum kita buat kesimpulan bahwa semua bilangan prima adalah ganjil tetapi hal itu sama sekali “tidak membuktikan“. Guru beresiko di dalam suatu argumentasi induktif bahwa kejadian semacam itu sering terjadi. Karenanya, suatu kesimpulan yang dicapai oleh induksi harus berhati-hati karena hal seperti itu nampak layak dan hampir bisa dipastikan atau mungkin terjadi. Sebuah argumentasi dengan induktif dapat ditandai sebagai suatu kesimpulan dari yang diuji ke tidak diuji. Bukti yang diuji terdiri dari kejadian atau contoh pokok-pokok.
Perhatikanlah strategi penemuan berikut ini :
Guru: Sekarang kita akan “menguji” hubungan yang merupakan tantangan matematika. Untuk memulai, mari kita mengikuti pernyataan berikut.
20 = 17 + 3
22 = 19 + 3
24 = 17 + 7
26 = 13 + 13
28 = 17 + 11
Apakah kalian mencatat pola dari pernyataan tersebut?
Lala : “Bilangan di sisi kiri semua bilangan dua puluhan.”
Guru : “Baik. Bagaimana dengan pertambahan di sebelah kanan?”
Alika : “Semuanya bilangan ganjil.”
Guru : “Benar, tapi dapatkah kalian menyatakan yang lain tentangnya, di samping fakta bahwa itu bilangan ganjil?”
Alika: “Baik. Bilangan itu prima.”
Guru : “Sangat bagus, dapatkah seseorang dari kalian meringkas pernyataan?”
Anis : “Beberapa bilangan dua puluhan merupakan pertambahan dari dua bilangan  prima.”
Guru : “Apakah kalian berpikir ini akan berlaku untuk bilangan yang lain?”
Aldi : “Aku tidak yakin.”
Guru : “Mari kita coba untuk beberapa contoh, katakanlah 30 atau 10 atau 52.”
Sari : “Tiga puluh sama dengan 27 ditambah 3.”
Guru : “Apakah ini mengikuti pola yang sama Dian?”
Dian : “Tidak, 27 bukan bilangan prima.”
Sari : “Benar, aku lupa. 30 sama dengan 17 ditambah 13”
Guru : “Bagaimanakah dengan 10 dan 52?”
Hana : ”Sepuluh sama dengan 7 ditambah 3 dan 52 sama dengan 47 ditambah 5.”
Guru : ”Baik, setiap siswa ambil tiga contoh bilangan lain dan cobalah. (berhenti). Sudahkah kalian menemukan dan dapatkah kalian mengungkapkannya?”
Dude : “Empat sama dengan 2 ditambah 2, tapi 2 bukan bilangan prima yang ganjil.”
Guru : “Bagaimana dengan 3 ditambah 1? Ini juga sama dengan 4.”
Dude : “Satu bukan bilangan prima.”
Guru : “O.K. Bagaimana dengan 6? Apakah ada yang sudah mencobanya?”
Ita : “Itu mudah, 3 ditambah 3”
Guru : “Apakah kalian sudah menyimpulkan mengenai bilangan genap dan bilangan prima ganjil?”
Ida : “Baik, setiap bilangan genap yang lebih dari 4 adalah sama dengan pertambahan dua bilangan prima ganjil.”
Guru : “Sangat bagus. Ini statemen yang sangat terkenal yang disebut dugaan Goldbach. Tidak seorangpun yang telah menemukan, meskipun matematikawan tidak mampu membuktikan itu. Untuk alasan ini kita cenderung percaya bahwa statemen ini benar.”

Penalaran induktif dibagi menjadi 3 bagian yaitu generalisasi, analogi dan sebab-akibat. Menurut Sumarmo (1987, h.39):
a.       Generalisasi merupakan proses penalaran yang berdasarkan pada pemeriksaan hal-hal secukupnya kemudian memperoleh kesimpulan untuk semuanya atau sebagian besar hal-hal tadi. Untuk matematika tingkat lanjutan, untuk memeriksa kebenaran hasil yang diperoleh dalam penyimpulan, maka dilakukan pemeriksaan dengan induksi matematika. Hal ini dimaksudkan untuk membuktikan apakah penyimpulan yang diperoleh berlaku untuk semua.
Sebagai contoh: Ani siswa SMA berseragam putih abu-abu Edi siswa SMA berseragam putih abu-abu Badu siswa SMA berseragam putih abu-abu Yanti siswa SMA berseragam putih abu-abu Jadi kesimpulannya mungkin semua siswa SMA berseragam putih abu-abu.
b.      Analogi merupakan penalaran dari satu hal tertentu kepada satu hal lain yang serupa kemudian menyimpulkan apa yang benar untuk satu hal juga akan benar untuk hal lain. Gambar di bawah ini adalah contoh analogi:




Untitled.png
 










Jawaban untuk pertanyaan di atas adalah hubungan antara 14 dengan segitiga PQR
analog dengan hubungan antara 20 dengan luas segi empat ABCD. Sebab 14
merupakan luas segitiga PQR dan 20 merupakan luas segi empat ABCD.
c.       Sebab-akibat, pengertian sebab-akibat hampir sama dengan penalaran generalisasi
induktif hanya saja pada pengambilan kesimpulannya berdasarkan pada karakteristik objek yang memungkinkan terjadinya keserupaan atau ketidakserupaan objek.
Contoh sebab-akibat: Louis Pasteur seorang ilmuwan meneliti beberapa macam penyakit yang disebabkan oleh kuman, baru-baru ini terdapat penemuan yang sangat penting yakni penyakit kanker paru-paru yang disebabkan oleh rokok.[1]

2.      Strategi deduktif
Dalam matematika metode deduktif memegang peranan penting dalam hal pembuktian. Karena matematika berisi argumentasi deduktif yang saling berkaitan, maka metode deduktif memegang peranan penting dalam pengajaran matematika. Dari konsep matematika yang bersifat umum yang sudah diketahui siswa sebelumnya, siswa dapat diarahkan untuk menemukan konsep-konsep lain  yang belum ia ketahui sebelumnya. Sebagai contoh, untuk menentukan rumus luas lingkaran, siswa dapat diarahkan untuk membagi kertas berbentuk lingkaran menjadi n buah sector yang sama besar, kemudian menyusunnya sedemikian rupa sehingga berbentuk seperti persegi panjang dan rumus keliling lingkaran yang sudah diketahui sebelumnya, siswa akan dapat menemukan rumus luas lingkaran.
Ciri utama matematika adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu pernyataan diperoleh sebagai akibat logis kebenaran sebelumnya, sehingga kaitan antara pernyataan dalam matematika bersifat konsisten. Berarti dengan strategi penemuan deduktif , kepada siswa dijelaskan konsep dan prinsip materi tertentu untuk mendukung perolehan pengetahuan matematika yang tidak dikenalnya dan guru cenderung untuk menanyakan suatu urutan pertanyaan untuk mengarahkan pemikiran siswa ke arah penarikan kesimpulan yang menjadi tujuan dari pembelajaran. Sebagai contoh dialog sedang memecahkan masalah sistem persamaan dengan menggunakan determinan koefisien dari dua garis yang sejajar dengan penemuan deduktif di mana guru menggunakan pertanyaan untuk memandu siswa ke arah penarikan kesimpulan tertentu.
Sebagai contoh dialog berikut sedang memecahkan masalah sistem persamaan dengan menggunakan determinan koefisien dari dua garis yang sejajar dengan penemuan deduktif di mana guru menggunakan pertanyaan untuk memandu siswa ke arah penarikan kesimpulan tertentu.
Guru : “Dengan aturan Cramer untuk memecahkan sistem persamaan ini :
3x – 2y = 6
–9x + 6y = –3
Apa yang kamu peroleh Agus ?”
Agus : “Untuk Dx didapat 30, untuk Dy didapat 45, tetapi untuk D didapat nol”
Guru : “Benar, kemudian apa solusimu?”
Agus : “Saya tidak tahu”
Guru : “Dapatkah yang lain memberitahuku hasilnya?”
Budi : “Saya rasa tidak ada.”
Guru : “Kenapa tidak ada?”
Untitled1.pngBudi : “Baik                        tidak ada hasilnya.”


Guru : “Benar, ketika kita membagi dengan 0, kita tidak memperoleh hasil.
Dapatkah seorang diantara kalian memberitahu penafsiran geometris dari hasil ini?”
Dita : “Bentuk grafiknya dari dua garis sejajar”
Guru : “Siswa yang lain setuju? Baik. Jika kita punya satu pasang garis
Untitled2.pngsejajar, seharusnya determinan koefisien dari variabel yang sama dengan nol. Mari sekarang kita selidiki secara umumnya.
Dari

Tulislah sebuah persamaan dari sebuah garis yang sejajar dengan garis ini?”


Untitled2.png
 
Tuti : ”

Guru : ”Menulis kedua persamaan di papan tulis. Berapa m?”
Tuti : “Semua bilangan real kecuali nol.”
Guru : “O.K. Mengapa kamu mengatakan d dan bukan mc1 ?”
Tuti : “Karena ini akan mewakili garis yang sama.”

Guru : “Sangat bagus! Apa determinan yang dibentuk dari koefisien x dan y
dari dua garis yang sejajar itu?”
Untitled2.pngAndi : “ ”

Guru : “Itu akan sama dengan berapa?”
Andi : “Nol.”
Guru : “Apakah yang dapat kita katakan dalam hal ini ? Apakah yang dapat
kita simpulkan?”
Dari contoh-contoh dialog tersebut di atas metode ini tepat digunakan apabila (Martinis Yamin, 2004: 78) :
a.       siswa telah mengenal atau mempunyai pengalaman yang berhubungan dengan pokok bahasan yang akan diajarkan.
b.      yang akan diajarkan berupa keterampilan komunikasi antara pribadi, sikap, pemecahan dan pengambilan keputusan.
c.       guru mempunyai keterampilan fleksibel, terampil mengajukan pertanyaan, terampil mengulang pertanyaan dan sabar.
d.      waktu yang tersedia cukup panjang.

Proses induktif-deduktif dapat digunakan untuk mempelajari konsep matematika. Namun demikian, pembelajaran dan pemahaman suatu konsep dapat diawali secara induktif melalui peristiwa nyata atau intuisi. Kegiatan dapat dimulai dengan beberapa contoh atau fakta yang teramati, membuat daftar sifat yang muncul (sebagai gejala), memperkirakan hasil baru yang diharapkan, yang kemudian dibuktikan secara deduktif. Dengan demikian, cara belajar induktif dan deduktif dapat digunakan dan sama-sama berperan penting dalam mempelajari matematika. Dengan penjelasan di atas metode penemuan yang dipandu oleh guru ini kemudian dikembangkan dalam suatu model pembelajaran yang sering disebut model pembelajaran dengan discovery learning. Pembelajaran dengan model ini dapat diselenggarakan secara individu atau kelompok. Model ini sangat bermanfaat untuk mata pelajaran matematika sesuai dengan karakteristik matematika tersebut. Guru membimbing siswa jika diperlukan dan siswa didorong untuk berpikir sendiri sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan bahan yang disediakan oleh guru dan sampai seberapa jauh siswa dibimbing tergantung pada kemampuannya dan materi yang sedang dipelajari.
Dengan model pembelajaran discovery learning ini siswa dihadapkan kepada situasi dimana siswa bebas menyelidiki dan menarik kesimpulan. Terkaan, intuisi dan mencoba-coba (trial and error) hendaknya dianjurkan dan guru sebagai penunjuk jalan dan membantu siswa agar mempergunakan ide, konsep dan keterampilan yang sudah mereka pelajari untuk menemukan pengetahuan yang baru. Dalam model pembelajaran dengan discovery learning, peran siswa cukup besar karena pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru tetapi pada siswa. Guru memulai kegiatan belajar mengajar dengan menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan siswa dan mengorganisir kelas untuk kegiatan seperti pemecahan masalah, investigasi atau aktivitas lainnya. Pemecahan masalah merupakan suatu tahap yang penting dan menentukan. Ini dapat dilakukan secara individu maupun kelompok. Dengan membiasakan siswa dalam kegiatan pemecahan masalah dapat diharapkan akan meningkatkan kemampuan siswa dalam mengerjakan soal matematika, karena siswa dilibatkan dalam berpikir matematika pada saat manipulasi, eksperimen, dan menyelesaikan masalah.

3.4 Langkah-Langkah Pelaksanaan Model Pembelajaran Discovery Learning

Berikut ini langkah-langkah dalam mengaplikasikan model pembelajaran discovery learning di kelas:
1. Langkah Persiapan Metode Discovery Learning :
a. Menentukan tujuan pembelajaran.
b. Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan sebagainya).
c. Memilih materi pelajaran.
d. Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari contoh-contoh generalisasi).
e. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswa.
f. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik.
g. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.

2. Pelaksanaan
Menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning di kelas, ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum sebagai berikut:
a. Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Disamping itu guru dapat memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah.
Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan. Dalam hal ini Bruner memberikan stimulation dengan menggunakan teknik bertanya yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menghadapkan siswa pada kondisi internal yang mendorong eksplorasi. Dengan demikian, seorang Guru harus menguasai teknik-teknik dalam memberi stimulus kepada siswa agar tujuan mengaktifkan siswa untuk mengeksplorasi dapat tercapai.

b.  Problem Statement (Pernyataan/ Identifikasi Masalah)
Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah) (Syah 2004:244), sedangkan menurut  permasalahan yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis, yakni pernyataan (statement) sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan. Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisis permasasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah.
  
c.  Data Collection (Pengumpulan Data)
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya  hipotesis.
Dengan demikian anak didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan narasumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara tidak disengaja siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.

d.  Data Processing (Pengolahan Data)
Menurut Syah (2004:244) pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Semua informai hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002:22).
Data processing disebut juga dengan pengkodean coding / kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis.

e.  Verification (Pembuktian)
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004:244). Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.
Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.

f.  Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)
Tahap generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka  dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan, siswa harus memperhatikan proses generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan pelajaran atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.
 3. Sistem Penilaian
Dalam Model Pembelajaran Discovery Learning, penilaian dapat dilakukan dengan menggunakan tes maupun nontes, sedangkan penilaian yang digunakan dapat berupa penilaian kognitif, proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa. Jika bentuk penialainnya berupa penilaian kognitif, maka dalam model pembelajaran discovery learning dapat menggunakan tes tertulis. Jika bentuk penilaiannya menggunakan penilaian proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa, maka pelaksanaan penilaian dapat dengan pengamatan.


 3.5 Kelebihan dan Kekurangan dari Model Pembelajaran Discovery Learning
     a. Kelebihan discovery learning
Kelebihan dari model pembelajaran discovery learning adalah sebagai berikut (Marzano; 1992):
a.   Siswa dapat berpartisipasi aktif dalam pembelajaran yang disajikan.
b.   Menumbuhkan sekaligus menanamkan sikap inquiry (mencari-temukan).
c.   Mendukung kemampuan problem solving siswa.
d. Memberikan wahana interaksi antar siswa, maupun siswa dengan guru, dengan demikian siswa juga terlatih untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
e.  Materi yang dipelajari dapat mencapai tingkat kemampuan yang tinggi dan lebih lama membekas karena siswa dilibatkan dalam proses menemukanya.
f.   Siswa belajar bagaimana belajar (learn how to learn).
g.   Belajar menghargai diri sendiri.
h.  Memotivasi diri dan lebih mudah untuk mentransfer.
i.   Pengetahuan bertahan lama dan mudah diingat.
j.  Hasil belajar discovery mempunyai efek transfer yang lebih baik dari pada hasil lainnya.
k.   Meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir bebas.
l. Melatih keterampilan-keterampilan kognitif siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain.

b. Kekurangan discovery learning
1.    Guru merasa gagal mendeteksi masalah dan adanya kesalahpahaman antara guru dengan siswa.
2.   Menyita waktu banyak. Guru dituntut mengubah kebiasaan mengajar yang umumnya sebagai pemberi informasi menjadi fasilitator, motivator, dan pembimbing siswa dalam belajar. Untuk seorang guru ini bukan pekerjaan yang mudah karena itu guru memerlukan waktu yang banyak. Dan sering kali guru merasa belum puas kalau tidak banyak memberi motivasi dan membimbing siswa belajar dengan baik.
3.   Menyita pekerjaan guru.
4. Untuk materi tertentu, waktu yang tersita lebih lama.
5.   Tidak semua siswa dapat mengikuti pelajaran dengan cara ini. Di lapangan, beberapa siswa masih terbiasa dan mudah mengerti dengan model ceramah.
6.  Tidak semua topik cocok disampaikan dengan model ini. Umumnya topik-topik yang berhubungan dengan prinsip dapat dikembangkan dengan Model Pembelajaran Discovery Learning.

3.6 Kaitan Model Pembelajaran Discovery Learning dengan Penerapan Kurikulum 2013 
Dengan diberlakukannya kurikulum 2013 ini guru harus kreatif dalam mengembangkan metode-metode pembelajaran. Guru harus mengurangi metode ceramah karena itu adalah metode konvensional yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan K-13 ini, dalam mengajar matematika guru tidak boleh langsung "rumus, contoh soal, latihan". Haruslah ada pemberian masalah yang relevan dengan kehidupan sehari-hari di awal kegiatan pembelajaran.
Salah satu model pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum 2013 ini adalah Model Pembelajaran Discovery Learning. Dalam model pembelajaran ini, siswa dihadapkan kepada situasi dimana siswa bebas menyelidiki dan menarik kesimpulan. Terkaan, intuisi dan mencoba-coba (trial and error) sangat dianjurkan dan guru sebagai penunjuk jalan dan membantu siswa agar mempergunakan ide, konsep dan keterampilan yang sudah mereka pelajari untuk menemukan pengetahuan yang baru. Dalam model pembelajaran dengan discovery learning, peran siswa cukup besar karena pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru tetapi pada siswa. Guru memulai kegiatan belajar mengajar dengan menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan siswa dan mengorganisir kelas untuk kegiatan seperti pemecahan masalah, investigasi atau aktivitas lainnya. Pemecahan masalah merupakan suatu tahap yang penting dan menentukan. Ini dapat dilakukan secara individu maupun kelompok. Dengan membiasakan siswa dalam kegiatan pemecahan masalah dapat diharapkan akan meningkatkan kemampuan siswa dalam mengerjakan soal matematika, karena siswa dilibatkan dalam berpikir matematika pada saat manipulasi, eksperimen, dan menyelesaikan masalah.
Karakteristik model pembelajaran Discovery Learning ini sesuai dengan kurikulum 2013 yang karakterisktiknya yaitu dalam proses pembelajaran berpusat pada siswa, siswa yang mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, dan unsur 5M (Mengamati, Menanya, Mengumpulkan informasi, Mengolah informasi, dan Mengkomunikasikan).
Selain itu, dalam penilaian juga Model Pembelajaran Discovery Learning dapat dilakukan dengan menggunakan tes maupun nontes, sedangkan penilaian yang digunakan dapat berupa penilaian kognitif, proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa. Jika bentuk penilaiannya berupa penilaian kognitif, maka dalam model pembelajaran discovery learning dapat menggunakan tes tertulis. Jika bentuk penilaiannya menggunakan penilaian proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa, maka pelaksanaan penilaian dapat dengan pengamatan. Dalam K-13 juga tidak menitikberatkan bidang kognitif saja, tetapi sikap dan keterampilan juga ikut menjadi bagian penting didalamnya.

DAFTAR PUSTAKA

Nosal, Agustian. BELAJAR DAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA
MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING. 24 Oktober 2013. http://nosalmathedu10.blogspot.com/2012/07/model-pembelajaran-discovery-learning.html 
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 2013. MODEL PEMBELAJARAN PENEMUAN (DISCOVERY LEARNING). 24 Oktober 2014.
Faiq, Muhammad. MODEL PEMBELAJARAN PENEMUAN (DISCOVERY LEARNING) DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013. 24 Oktober 2014.
Berbagi Pengetahuan. MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY (PENEMUAN). 24 Oktober 2014. https://www.academia.edu/6644958/MODEL_PEMBELAJARAN_DISCOVERY_LEARNING 
Herdian,S.Pd., M.Pd. Metode Pembelajaran Discovery (Penemuan). 25 Oktober 2014. https://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/metode-pembelajaran-discovery-penemuan/
Suherman, dkk. (2001). Common TexBook Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung. 
Rahman,Risqi. Maarife, Samsul. PENGARUH PENGGUNAAN METODE DISCOVERY TERHADAP KEMAMPUAN ANALOGI MATEMATIS SISWA SMK AL-IKHSAN PAMARICAN KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT. 25 Oktober 2014. http://e-journal.stkipsiliwangi.ac.id/index.php/infinity/.../37
Hasugian, Halomoan. MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN METODE DISCOVERY LEARNING PADA ANAK KELAS VI SEKOLAH DASAR NEGERI 02 SEJARUK. 25 Oktober 2014. http://www.jurnal.untan.ac.id/index.php/jpdpb/article/.../3311

Label:





0 comments

Posting Komentar


Kio