HUBUNGAN FILSAFAT EKSISTENSIALISME DALAM DUNIA PENDIDIKAN

06/12/14

MAT 3/A-3



Filsafat Eksistensialisme dikembangkan oleh ahli filsafat asal Jerman, Martin Heidegger (1889-1976), merupakan bagian filsafat dan akar metodologinya berasal dari metodologi fenomenologi yang dikembangkan oleh hussel (1859 – 1938). Kemunculan eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Soren Kierkegaard dan Nietzche.
Soren Aabye Kierkegaard (lahir di Kopenhagen, Denmark, 5 Mei 1813 – meninggal di Kopenhagen, Denmark, 11 November 1855 pada umur 42 tahun) adalah seorang filsuf dan teolog abad ke-19 yang berasal dari Denmark. Kierkegaard menentang keras pemikiran Hegel. Keberatan utama yang diajukannya adalah karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena ia (Hegel) mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai sesuatu “aku umum”, tetapi sebagai “aku individual”. Inti pemikirannya adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan. manusia selalu berkembang, berproses ke arah yang lebih baik. Kesadaran akan diri merupakan kata kunci, karena melalui kesadaran akan dirinya inilah manusia berproses ke arah yang lebih baik. Kesadaran akan diri muncul bila manusia memiliki kebebasan menentukan. Kierkegaard ingin menjawab pertanyaan “bagaimanakah aku menjadi seorang diri ?”, dasar pertanyaan tersebut mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu sistem yang umum tetapi berada dalam eksistensi individu yang konkret.
Menurut Friedrich Nietzsche, manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.Pandangan tersebut tentunya bukan suatu yang muncul dengan sendirinya, melainkan sesuatu yang lahir ketika dunia mengalami krisis eksistensial, ketika manusia melupakan sifat individualisnya. Kierkegaard berusaha untuk menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan.
Dari kierkegaard kemudian diteruskan oleh Nitzche (1844-1900), pemikiran filsafat Nitzche terarah pada upaya melahirkan ide yang bisa menjadi jalan keluar untuk menjawab pertanyaan filosofisnya, yaitu “bagaimana cara menjadi manusia unggul (ubbermench)”. Jawabannya adalah manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani.
Sebagai pandangan baru, filsafat eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus mendeskripsikan eksistensial dan pengalaman manusia dengan metodologi fenomenologi atau cara manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu reaksi terhadap materialism dan idealisme. Pendapat materialism terhadap manusia adalah manusia merupakan benda dunia, manusia adalah materi, manusia adalah sesuatu yang ada tanpa menjadi subyek. Pandangan manusia menurut idealisme : manusia hanya sebagai subyek atau hanya sebagai suatu kesadaran. Eksistensialisme berkeyakinan situasi manusia selalu berpangkalkan eksistensi sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-lukisan yang konkret.
Bagi eksistensialisme, individu bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam, mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya, bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialisme dasar bahwa kebenaran bersifat relative, karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Sementara, dalam ontologis, eksistensialisme banyak mempersoalkan makna keberadaan manusia yang diyakini mesti dihadirkan lewat kebebasan. Oleh karena itu, pertanyaan utama eksistensialisme nyaris selalu bersinggungan dengan persoalan kebebasan; mulai dari apakah kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas itu? eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan tersebut.
Sementara, di perancis eksistensialisme dikenal lewat Jean Paul Sartre. Jean Paul Sartre (1905-1980) lahir tanggal 21 Juni 1905 di Paris dan meninggal di Paris, 15 April 1980 pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ia berasal dari keluarga Cendikiawan. Ayahnya seorang Perwira Besar Angkatan Laut Prancis dan ibunya anak seorang guru besar yang mengajar bahasa modern di Universitas Sorbone. Ia dianggap yang mempopulerkan aliran eksistensialisme. Sartre dengan diktumnya “human is condemned to be free”. Manusia demikian menurut Sartre, dikutuk untuk bebas. Dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Dalam sisi ini, pertanyaan yang sering muncul sebagai akibat dari adanya kebebasan eksistensialis : sejauh mana kebebasan manusia itu? Atau, sesuatu yang dalam istilah dikenal “orde baru”. Apakah eksistensialisme mengenal kebebasan yang bertanggung jawab? Para penganut eksistensialisme meyakini kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia. Maka, batasan kebebasan setiap individu adalah kebebasan individu lain.
Namun, menjadi eksistensialis bukan harus menjadi seseorang yang lain daripada yang lain, sebaliknya menjadi sadar bertapa keberadaan dunia selalu menjadi sesuatu yang berada di luar kendali manusia. Meski hal itu bukan berarti membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi eksistensialisme.
Fokus filsafat eksistensialis adalah dalam aksiologi yang membedakannya dengan filsafat tradisional yang mementingkan metafisika. Dapat dikatakan bahwa “metafisika” eksistensialisme diwakilkan dengan kata “eksistensi”  dan konsep epistemologinya adalah “pilihan”. Oleh karena itu kedua konsep ini membawa manusia eksistensialis memfokuskan diri pada aktivitas kehidupan dan perhatian filsafatnya diikat dalam lingkup aksiologi individual sebagai seorang penentu eksistensialis.
Jika manusia ingin menjadi benar-benar autentik, maka ia harus hidup secara bertanggung jawab termasuk dalam membuat keputusan. Akibat yang tidak disenangi bagi seseorang yang bertindak di luar aturan etik tidak begitu dipermasalahkan dalam pandangan eksistensialis. Adalah penting untuk berbuat tanpa memperhatikan akibat-akibat ini, tetapi bukan berarti membenarkan tindakan yang tidak bertanggung jawab.  Kaum eksistensialis melihat tidak ada ketegangan setelah kematian. Lawan kematian adalah kehidupan, dan kehidupan bagi mereka mengharuskan  derajat ketegangan sebagai seorang pribadi  karena pribadi tersebut bertindak berdasar  hukum etiknya sendiri.
Pandangan eksistensialis tentang estetika dapat digambarkan sebagai sebuah penolakan terhadap standar umum. Masing-masing individu adalah pengadilan tertinggi  dalam memandang tentang apa yang indah.  Tidak seorang pun yang dapat membuat keputusan bagi individu yang lain. Apa yang indah bagi saya adalah indah dan siapa yang dapat menentang saya?. Dengan demikian keakuan sangat ditonjolkan baik dalam etika maupun dalam estetika. Ukuran perbuatan  adalah kebebasan memilih dengan konsekuensi pertanggungjawaban atas pilihan tersebut.
Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri dan sadar akan tanggung jawabnya di masa depan adalah inti eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti guru atau lainnya tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme apakah kita menjadi guru atau lainnya merupakan keinginan orang tua atau kita sendiri.
Adapun secara umum, eksistensialisme membagi problem filsafat menjadi empat masalah filosofis : eksistensi manusia, bagaimana bereksistensi secara aktif, eksistensi manusia adalah eksistensi yang terbuka dan belum selesai, serta pengalaman eksistensial. Sedangkan Sartre membagi eksistensialisme ke dalam dua cabang, yaitu eksistensialisme kreistiani dan eksistensialisme ateis.
Filsafat eksistensialisme membahas cara pengada-pengada, khususnya manusia. Sesuatu oleh Sartre terbagi menjadi dua, yaitu l’etre – en – soi (ada – dalam – diri) dan l’etre – pour – soi (berada – untuk – diri). L’etre – en –soi selalu menjadi keberadaan yang an –sich, ada yang bulat, padat, baku, dan tertutup. Entre – en – soi mentaati prinsip what it is.
Perubahan pada benda yang ada dalam diri itu disebabkan oleh sebab-sebab yang telah ditentukan. Maka, benda entre – en – soi terdeteminasi, tidak bebas, dan perubahannya memuakkan (nauseant). Benda yang berada-dalam-diri ada di sana tanpa alasan apapun, tanpa alasan yang kita berikan padanya.
Adapun, l’etre – pour – soi adalah cara ada yang sadar. Satu-satunya makhluk yang mengada secara sadar adalah manusia. Etre – pour – soi tidak memiliki prinsip identitas karena adanya terbuka, dinamis, dan aktif oleh karena kesadarannya. Disini, manusia mesti bertanggung jawab atas keberadaannya; bahwa “aku” adalah frater, bukan bruder, bahwa “aku” imam tarekat, bukan imam diosesan; bahwa “aku” awam, bukan klerus; bahwa “aku” dosen, bukan mahasiswa; bahwa “aku” mahasiswa, bukan pengamen. Manusia sadar bahwa dia bereksistensi.
Dalam membicarakan kesadaran, Sartre membagi menjadi dua, yaitu kesadaran prareflektif dan kesadaran reflektif. Kesadaran prafeflektif adalah kesadaran aktivitas harian. Menurut Sartre, tidak ada “aku” dalam kesadaran prareflektif. Sedangkan, kesadaran adalah kesadaran akan diri. Selama seseorang berkonsentrasi, ia mengalami kesadaran reflektif.
Kesadaran ini membuat manusia mampu membayangkan apa yang mungkin terjadi dan apa yang bisa ia lakukan. Misalnya, ketika ia sadar bahwa akan realitas hidupnya menurut Sartre seseorang akan dibawa pada sesuatu yang dinamainya “pusaran kemungkinan”. Di titik inilah kebebasan menurut Sartre menjadi sesuatu hal yang terkutuk.
Singkatnya, eksistensialisme selalu menjadi pemikiran filsafat yang berupa untuk agar manusia menjadi dirinya, mengalami individualitasnya. Eksistensi berarti berdiri sendiri sebagai diri sendiri. Menurut Heideggard, “Das wesen des daseins liegh in seiner Exixtenz”. Da – sein tersusun dari dad dan sein. Dan berarti di sana, sein berarti berada. Artinya, manusia sadar dengan tempatnya. Menurut Sartre, adanya manusia itu bukanlah etre, melainkan a etre – manusia itu tidak hanya ada, tetapi dia selamanya harus membangun adanya, adanya harus dibentuk dengan tidak henti-hentinya.
Menurut Parkay (1998), aliran eksistensialisme terbagi dua sifat, yaitu teistik (bertuhan) dan arteistik. Menurut eksistensialisme, ada dua jenis filsafat tradisional, yaitu filsafat spekulatif dan filsafat skeptif. Filsafat spekulatif menyatakan bahwa pengalaman tidak banyak berpengaruh pada individu. Filsafat skeptif menyatakan bahwa semuanya pengalaman itu adalah palsu, tidak ada sesuatu yang dapat kita kenal dari realita. Menurut mereka, konsep metafisika adalah sementara.
Dalam aliran filsafat Eksistensialisme mempunyai ciri-ciri utama antara lain sebagai berikut:
a.  Penolakan untuk dimasukkan dalam aliran filsafat tertentu.
b.  Tidak mengakui adekuasi sistem filsafat dan ajaran keyakinan (agama)
c. Sangat tidak puas dengan sistem filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademis dan jauh dari kehidupan.
Individualisme adalah pilar sentral dari eksistensialisme. Kaum eksistensialis tidak mengakui sesuatu itu sebagai bagian dari tujuan alam raya ini. Hanya manusia, yang individual yang mempunyai tujuan.
Prinsip-prinsip Aliran Eksistensialisme adalah sebagai berikut:
a.       Aliran ini tidak mementingkan metafisika (Tuhan).
b.      Kebenaran lebih bersifat eksistensial daripada proporsional atau faktual.
c.       Aliran ini memandang individu dalam keadaan tunggal selama hidupnya dan individu hanya mengenai dirinya dalam interaksi dirinya sendiri dalam kehidupan.
d.      Jiwa aliran ini mengutamakan manusia, memperkembangkan eksistensi pribadinya atas alasan bahwa manusia akan mati.
Secara relatif, eksistensialisme tidak begitu dikenal dalam dunia pendidikan, tidak menampakkan pengaruh yang besar pada sekolah. Sebaliknya, penganut eksistensialisme kebingungan dengan apa yang akan mereka temukan melalui pembangunan pendidikan.  Mereka menilai bahwa tidak ada yang disebut pendidikan, tetapi bentuk propaganda untuk memikat orang lain. Mereka juga menunjukkan bahwa bagaimana pendidikan memunculkan bahaya yang nyata, sejak penyiapan murid sebagai konsumen atau menjadikan mereka penggerak mesin pada teknologi industri dan birokrasi modern. Sebaliknya pendidikan tidak membantu membentuk kepribadian dan kreativitas, sehingga para eksistensialis mengatakan sebagian besar sekolah  melemahkan dan mengganggu atribut-atribut esensi kemanusiaan.
Mereka mengkritik kecenderungan masyarakat masa kini dan praktik pendidikan bahwa ada pembatasan realisasi diri karena ada tekanan sosio-ekonomi yang membuat persekolahan hanya menjadi pembelajaran peran tertentu. Sekolah menentukan peran untuk kesuksesan ekonomi seperti memperoleh pekerjaan dengan gaji yang tinggi dan menaiki tangga menuju ke kalangan ekonomi kelas atas; sekolah juga menentukan tujuan untuk menjadi warga negara yang baik, juga menentukan apa yang menjadi kesuksesan sosial di masyarakat. Siswa diharapkan untuk belajar peran-peran ini dan berperan dengan baik pula. Dalam keadaan yang demikian, kesempatan bagi pilihan untuk merealisasikan diri secara asli  dan autentik menjadi hilang atau sangat berkurang. Keautentikan menjadi begitu beresiko karena tidak dapat membawa pada kesuksesan sebagaimana didefinisikan oleh orang lain. Di antara kecenderungan masa kini yang begitu menyebar cepat tetapi sangat sulit dipisahkan adalah mengikisnya kemungkinan keautentikan manusia karena adanya tirani dari yang rata-rata  (tyranny of the average). Tirani dari aturan yang diktatorial dan otoriter, rejim dan institusi adalah bentuk  nyata dari penindasan dan paksaan. Tirani dari yang rata-rata  tampak  seolah demokratis tetapi dalam kenyataannya adalah gejala penyakit pikiran massa dan pilihan-pilihan nilainya. 
Dalam masyarakat yang berorientasi konsumsi, produk barang dan jasa dibuat dan dipasarkan untuk membentuk kelompok konsumen terbesar. Media massa, seni dan hiburan juga dirancang sebagai produk yang akan menarik lebih banyak audiens. Agen-agen ini yang disebut sebagai agen pendidikan informal merefleksikan dan menciptakan selera populer. Dalam masayarakat yang seperti ini, penyimpangan dari yang rata-rata atau kebanyakan orang tidak akan diterima baik. Keunikan menjadi begitu mahal sehingga hanya dapat dinikmati oleh orang-orang istimewa, yaitu kaum elit, atau oleh  orang-orang yang tidak populer disebut masyarakat marjinal. (Gutek, 1988:123-124)
Pandangan tentang pendidikan, disimpulkan oleh Van Cleve Morris dalam Existensialisme and Education, bahwa "Eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk. Oleh sebab itu eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang.
Menurut eksistensialisme, pengetahuan kita tergantung kepada interprestasi tentang realitas. Pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan merupakan alat untuk memperoleh pekedaan atau karier anak, melainkan pengetahuan itu dapat dijadikan alat perkembangan dan alat pemenuhan diri ini merupakan teori pengetahuan dan kebenaran eksistensialisme yang dikemukakan oleh Kneller.
Implementasi aliran eksistensialisme tehadap pendidikan antara lain sebagai berikut:
a.       Aliran ini mengutamakan perorangan/ individu.
b.      Memandang individu dalam keadaan tunggal selama hidupnya.
c.       Aliran filsafat ini percaya akan kemampuan ilmu untuk memecahkan semua persoalannya.
d.      Aliran ini memabatasi murid-murinya dengan buku-buku yang ditetapkan saja.
e.       Aliran ini tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk.
Kalangan Eksistensialisme “terganggu” akan apa yang mereka dapatkan pada kemapanan pendidikan. Mereka dengan segera menegaskan bahwa banyak dari apa yang disebut pendidikan sebenarnya tidaklah apa – apa kecuali propaganda yang digunakan untuk memikat audiens. Mereka juga mengungkapkan bahwa banyak dari apa yang dewasa ini dianggap pendidikan sejati adalah sesuatu yang membahayakan, karena ia menyiapkan peserta didik untuk konsumerisme atau menjadikannya sebagai tenaga penggerak dalam mesin teknologi industrial dan birokrasi modern. Bukan malah mengembangkan individualitas dan kreativitas, keluh kalangan eksistensialis, banyak pendidikan justru memusnahkan sifat – sifat kemanusiaan yang pokok tadi.
Menurut aliran eksistensialisme, tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Memberikan bekal pengalaman yang luas dan komprehensif kepada para siswa dalam semua bentuk kehidupan.
Eksistensialisme sebagai filsafat sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia bertanggung jawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, Sikun Pribadi (1971) mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan erat sekali dengan pendidikan, karena keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan anatar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan. Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah “keberadaan” manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.
Kaum eksistensialisme menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu tingkatan kepekaaan personal yang disebut Greene “kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal adalah kurikulum  yang memberikan para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana individu akan dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya. Mata pelajaran yang dapat memenuhi tuntutan di atas adalah mata pelajaran IPA, sejarah, sastra, filsafat, dan seni. Bagi beberapa anak, pelajaran yang dapat membantu untuk menemukan dirinya adalah IPA, namun bagi yang lainnya mungkin saja bisa sejarah, filsafat, sastra, dan sebagainya.
Dengan mata pelajaran tersebut, siswa akan berkenalan dengan pandangan dan wawasan para penulis dan pemikir termasyur, memahami hakikat manusia di dunia, memahami kebenaran dan kesalahan, kekuasaaan, konflik, penderitaan, dan mati. Kesemuanya itu merupakan tema-tema yang akan melibatkan siswa baik intelektual maupun emosional.
Menurut Kneller (1971), konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan percakapan antara pribadi dengan pribadi, dimana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya. Menurut Buber kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa menyerah kepada kehendak guru atau pada pengetahuan yang tidak fleksibel, dimna guru menjadi penguasanya.
Selanjutnya buber mengemukakan bahwa guru hendaknya tidak boleh disamakan dengan seorang instruktur. Jika guru disamakan dengan instruktur maka ia hanya akan merupakan perantara yang sederhana antara materi pelajaran dan siswa. Seandainya ia hanya dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan dan siswa akan menjadi hasil dari transfer tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan menjadi alat dan produk dari pengetahuan tersebut.
Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan suatu yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.
Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak bermakna apa-apa, dan alam semesta berlainan dengan situasi yang manusia temukan sendiri di dalamnya. Oleh karena itu, dengan kebebasan yang kita miliki, masing-masing dari kita harus commit sendiri pada penentuan makna bagi kehidupan kita. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Maxine Greene (Parkay, 1998), seorang filosof pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan pada eksistensialisme “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan situasi-situasi kita jika kita memahami dunia dari sudut pendirian bersama”. Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses edukatif. Sekalipun begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari kehidupan mereka.

Sumber :
Muhmudayeli. Filsafat Pendidikan. PT Refika Aditama. Bandung. 2011
Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan. ALFABETA,CV. Bandung. 2004
Hedrik, R Jan. Pengantar filsafat. Kanisius. Yogyakarta. 1996
Poedjawijatna. Pembimbing Ke Arah Alam filsafat. Pustaka Sarjana. 1980
http://ujeberkarya.blogspot.com/2010/01/filsafat-eksistensialisme.html
http://indramunawar.blogspot.com/2009/03/aliran-eksistensialisme-filsafat-masa.html
http://khaerulhuda.wordpress.com/2012/02/07/aliran-eksistensialisme
http://ekameliyakin.wordpress.com/2013/06/26/aliran-eksistensialisme-filsafat-pendidikan/

Label:





0 comments

Posting Komentar


Kio